Mantra Sunda dalam Tradisi Naskah Lama: Antara Konvensi dan Inovasi

Authors

  • Elis Suryani NS Universitas Padjadjaran, Bandung

DOI:

https://doi.org/10.37014/jumantara.v7i2.286

Keywords:

mantra Sunda, tradisi, naskah lama, konvensi, inovasi, manuskrip

Abstract

Penelitian ini berjudul Mantra Sunda dalam Tradisi Naskah Lama: Antara Konvensi dan Inovasi. Persoalan menarik penelitian ini karena ditemukannya 16 buah naskah tentang mantra, yang sepanjang masa perjalanannya disalin berkali-kali dalam kurun waktu yang berbeda, sehingga mengundang berbagai perbedaan dalam bentuk penulisannya. Hal ini tentu saja memerlukan pengkajian untuk menentukan naskah ‘mantra’ mana yang unggul dan paling representatif dari sejumlah naskah mantra yang ada sebagai dasar suntingan teks. Naskah mantra awalnya ditulis tahun 1910 oleh Ki Suparman, beraksara Pegon dan berbahasa Sunda, yang mengacu kepada naskah berjudul Doa dan Mantra beraksara Pegon berbentuk Puisi bertitimangsa 1890 dari Pacitan Madiun, kemudian disalin ke dalam aksara Cacarakan dan berbahasa Sundapada tahun 1960 oleh Hj. Momoh Patimah, yang dijadikan sebagai dasar kajian filologis penelitian ini. Metode deskriptif analisis komparatif yang digunakan berusaha mendeskripsikan data secara terinci dan teliti, menganalisisnya dengan cermat, serta membandingkannya secara tepat sasaran. Sedangkan metode kajiannya berupa metode kritik teks, mengacu kepada metode landasan, karena dari lima buah naskah, ada sebuah teks yang dianggap paling baik, unggul, dan lengkap, dilihat dari segi kualitatif maupun kuantitatifnya. Metode kajian sastra yang berkaitan dengan struktur, meliputi: rima, irama, diksi, citraan, dan majas, serta sosiologis sastra, yang mengungkap fungsi Mantra secara pragmatis di masyarakat. Hasil suntingan teks sebanyak 407 bait teks mantra dianggap paling unggul dan representatif dari sejumlah naskah yang ada, yang dipandang paling mendekati teks asalnya, serta mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat masa kini dan masa mendatang. Adapun Mantera Aji Cakra dan Mantera Darmapamulih (kropak 421), dan ketiga kropak lainnya, yakni kropak 409, 413, dan 414, diperkirakan sebagai arketip dari naskah mantra yang ada saat ini, sebagaimana terungkap dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian. Mantra dipandang sebagai ‘dokumen dan kerifan lokal budaya’ Sunda. Pengamal mantra beranggapan bahwa membaca mantra sama dengan membaca ‘doa’. Kajian struktur dan makna mantra telah mampu menguak eksistensi dan fungsi mantra dalam upaya mengungkap baik dan buruknya penggunaan mantra. Mantra layak disikapi secara bijak agar Pengamal dan Bukan Pengamal Mantra dapat hidup berdampingan, selaras dan harmonis.

References

Abdulwahid, Idat. 1991. Kajian Semiotik Folklore (Mantra)Di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad.

---------.1992. Kajian Semiotik Mantra Perlindungan di Jawa Barat. Laporan Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad.

Abrams, M.H. 1958. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. New York: Norton.

Atja & Saleh Danasasmita. 1981. Carita Parahiyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Ayatrohaedi. 2003. "Nganjang ka Kalanggengan" Agama orang Sunda pra-Islam Menurut Naskah, dalam "Tulak Bala Sistem Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1980. Teori Filologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

---------1985. Pengantar Teori Fllologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics Structuralism: Linguictics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Downloads

Published

2019-08-09

Issue

Section

Articles