Budaya Bali dalam Sastra Kakawin dan Geguritan

Authors

  • I Nyoman Sukartha Universitas Udayana

DOI:

https://doi.org/10.37014/jumantara.v6i2.303

Keywords:

budaya, Bali, sastra, Kakawin, Geguritan

Abstract

Cipta sastra kakawin dan geguritan merupakan cipta sastra tradisional yang dibangun dalam bentuk tembang. Kedua cipta sastra ini sangat diminati untuk dikaji dan dibicarakan dalam berbagai kesempatan dan kepentingan. Dalam bidang penelitian, ribuan karya telah lahir dari para peneliti, baik peneliti asing maupun peneliti Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, di Bali, kedua karya ini sering dinyanyikan dan juga diterjemahkan, diulas dan dikomentari terlebih lagi dalam aktivitas kelompok seniman yang disebut Pesantian. Mereka asik mencari kenikmatan dalam keestetisan yang tertuang dalam karya kakawin dan geguritan. Begitu pandainya para pengawi menuangkan kejeniusannya dalam berkarya sehingga sampai sekarang masih banyak diminati dan dimaknai. Di samping estetisitas yang dimiliki oleh sastra kakawin dan geguritan tentunya ada  konsep-konsep nilai budaya luhur yang terkandung di dalamnya. “Tri Hita Karanaâ€. Inilah penyebabnya sastra kakawin dan geguritan tidak pernah kering dan tuntas untuk dibicarakan. Konsepsi nilai budaya Bali yang terkandung dalam sastra kakawin dan geguritan, beberapa di antaranya seperti; Keesaan Tuhan, etika berbahasa, perbuatan susila, kesederhanaan dan pembelajaran diri seumur. Tuhan merupakan kebenaran tertinggi pada dasarnya bersifat Esa atau Tunggal. Setiap orang yang berbeda keyakinan akan menyebut-Nya dengan nama lain. Kenyataan ini hendaknya dipahami dan diakui bersama. Bila ini tertanam dengan baik di dalam sanubari setiap orang, tentunya toleransi beragama, sikap saling menghormati antar umat beragama akan tercipta. Pada akhirnya akan melahirkan sikap solidaritas serta bertumbuhnya paham kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Manusia sebagai mahluk berbudaya, dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa sebagai medianya. Untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan sesamanya, terutama dalam berbahasa diperlukan etika berbahasa. Sastra kakawin dan geguritan sangat kaya akan hal ini. Perbuatan susila, konsep kesederhanaan dan belajar seumur hidup  di dalam sastra kakawin dan geguritan, merupakan ajaran yang patut diteladani. Bila ini telah tertanam dan dimaknai dengan baik oleh seluruh bangsa Indonesia atau pun seluruh umat manusia, lalu diamalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, tentu peristiwa yang berbau “saraâ€Â  hanya bersifat slogan saja. Peristiwa bom Bali 1 dan 2, bom Mariot, penyerangan warga Ahmadiyah di Cikusik Banten, peristiwa penyerangan pondok Pesantren di Tulung Agung Jawa Timur, termasuk tragedi Hamas dengan Israel di Gaza  tidak akan terjadi.

References

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina,1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta

Djojosuroto, Kinajati, 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publiser

Jendra, I Wayan.1995. Etika Berbicara Dalam Sastra Hindu, Analisis Bahasa. Denpasar; Universitas Udayana

Kaelan, 2002. Filsafat Bahasa :Realitasbahasa,Logika Bahasa,Hermeneutika dan

Postmodernisme . Yogyakarta:Paradigma

Kaelan, 2009. Filsafat Bahasa; Semeotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:

Paradigma

Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2007. Estetika: Sastra dan Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah Daerah Bali. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.

Saputra, H. Karsono. 1992. Sekar Macapat. Jakarta. Wedatama Widya Sastra

Sugriwa, I Gusti Bagus,1959: Sutasoma Jilid VI; Denpasar, Pustaka Balimas.

Suastika, I Made.2006. Estetika: Kreativitas Penulisan Sastra dan Nilai Budaya Bali. Denpasar: Program Studi Magister S2 dan S3 Kajian Budaya dan Jurusan Sasra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

Downloads

Published

2019-08-09

Issue

Section

Articles