Kakawin Nilacandra: Telaah Intertekstual

Authors

  • A.A. Gde Alit Geria IKIP PGRI, Bali

DOI:

https://doi.org/10.37014/jumantara.v2i1.121

Keywords:

kakawin, Nilacandra, sastra, Balai, intertekstual

Abstract

Dalam karya sastra klasik peninggalan nenek moyang tersimpan berbagai permasalahan kehidupan pada zamannya. Untuk itulah khazanah sastra perlu digali agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipahami. Hal ini senada dengan pernyataan R.M.Ng. Poerbatjaraka ketika meresmikan berdirinya Fakultas Sastra Universitas Udayana tahun 1958, yakni: “Bali adalah pulau yang telah terkenal sebagai peti tempat penyimpanan dan pembendaharaan sastra dan budaya lama, maka berdirinya Fakultas Sastra ini dapat dianggap sebagai kunci wasiat untuk membuka pembendaharaan itu secara ilmiah†(Sudartha, 1989:10). Pernyataan tersebut sesungguhnya mengandung dimensi waktu jauh ke depan, agar peti yang mengandung misteri-misteri budaya lama dapat dipelajari dan dipahami oleh generasi penerus bangsa. Sastra klasik Bali memiliki kekhasan tersendiri dan yang terpenting adalah hingga kini masih terpelihara, lestari, dan hidup di Bali. Hal ini dapat dibuktikan dalam tradisi mababasan (pembacaan karya sastra secara bergiliran disertai diskusi). Tradisi mababasan hingga kini dikenal dengan Sekaa Pesantian. Sejalan dengan uraian itu, A. Teeuw (1998:40) mengatakan dimana-mana di pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok, di bagian Sumatera dan Sulawesi, sastra memang sebagiannya diturunkan dan disimpan dalam naskah-naskah tertulis, tetapi sastra itu secara wajar dibacakan bersama-sama, antara pembawa dan pendengar; seringkali pula bergiliran perannya, seperti dalam mababasan di Bali dan nembang di Jawa. Di Bali karya-karya sastra Jawa Kuna dan Bali terus terpelihara, dikembangkan, dihayati, diulas serta ditulis kembali hingga kini. Melalui tradisi mababasan inilah masyarakat Bali mengakrabi dan mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap sebagai ajang ‘kritik sastra’, karena melalui tradisi ini sebuah karya dibacakan, diterjemahkan, diulas serta dikomunikasikan antara anggota sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua arah dengan sangat ‘demokratis’ di antara anggota yang hadir, sehingga pada akhirnya akan disepakati adanya sebuah nilai luhur yang tersirat di dalamnya.

References

Agastia, IBG. 1982. Sastra Jawa Kuna dan Kita. Denpasar: Wyasa Sanggraha.

Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Kern, J.H.C. dan W.H Rassers. 1982. Siwa dan Buddha. Kata Pengantar Edi Sedyawati (Edisi Indonesia). Jakarta: Djambatan.

Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan.

Mantra, Ida Bagus. 1958. Pengertian Siva Buddha dalam Sejarah Indonesia. Denpasar: Institut Hindu Dharma.

Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Moleong, Lexy J. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___________. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___________. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robson, S.O. 1978. "Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia" Dalam Bahasa dan Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suamba, IB. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan kerjasama dengan Widya Dharma.

Tuuk, H.N van der. 1887-1912. Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek. 4 volumes. Batavia: Landsdrukkerij.

Warna, I Wayan. dkk. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Zoetmulder, P.J. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Downloads

Published

2019-07-19

Issue

Section

Articles