Lontar: Tradisi Hidup Dan Lestari Di Bali
DOI:
https://doi.org/10.37014/medpus.v17i1&2.868Keywords:
Lontar, Tradisi, BaliAbstract
Tradisi budaya tulis menulis di atas rontal di Bali telah berlangsung sejak zaman silam. Ribuan manuscript (baca: Lontar) yang diwarisi di Bali, ditulis di atas daun tal (rontal) dengan sistem pemeliharaan yang demikian sederhana sebelum mendapat sentuhan teori filologi dan kodikologi. Sejak dulu rontal (material-palm) sangat diindahkan oleh para rakawi sebagai sarana untuk menuangkan segala petuah-petuah suci, berupa ajaran budi pekerti dan sebagainya. Sejumlah manuscript (lontar) menyebut istilah tal (rontal) sebagai bahan tulis yang ampuh dan tahan lama. Seperti terlihat dalam Lontar Saraswati: PNRI L.254, sebuah lontar Merapi-Merbabu, Singhalangghyala Parwa/PNRI 1 L.858: lp. 14 b), Kakawin Ramayana, II:67d dan VI:157d-158a. Istilah “lontar†adalah untuk menyebut sebuah hasil karya (seni-sastra) yang berasal dari “rontal†(palm-leaf); sedangkan istilah “rontal†adalah berupa bahan tulis (material-writting) itu sendiri, dalam artian belum ada tulisan. Keberadaan tradisi lontar tentu sangat erat kaitannya dengan tradisi tulis. Sebagai tradisi yang hidup, tradisi lontar di Bali didukung oleh bahan baku yang cukup tersedia, sampai kepada tradisi penulisan lontar dan kegiatan membaca lontar, yang masih hidup hingga kini. Dalam perspektif budaya dan masyarakat Bali sastra (baca: lontar) lebih dipandang sebagai suatu yang suci, arkais, dan sakral-religius. Dengan kata lain, seorang yang akan menggeluti dunia lontar, dituntut memiliki pengetahuan moral-spritual dan religius yang memadai serta harus disucikan (diinisiasi) secara lahir batin. Secara umum pada masyarakat Bali telah berkembang tradisi lisan dalam meresapi isi yang terkandung dalam lontar. Tradisi baru tentang budaya lontar dalam perkembangan masyarakat di Bali dewasa ini tidak hanya digunakan untuk menyalin dari lontar ke lontar baru, namun terjadi suatu kreativitas yang dinamis. Terbukti dengan adanya kegiatan menulis lontar dalam aksara Bali dan Latin berbahasa Bali dan Asing (Inggris, Jerman, dan lain-lain) berupa kartu nama yang dikemas sedemikian rupa dan nampak artistik. Selain itu, dengan adanya program Bali Simbar yang dirancang demikian apiknya oleh I Made Swacana, telah membawa angin segar terhadap perkembangan budaya lontar ke arah tradisi baru. Melalui peremajaan penyalinan lontar ke dalam aksara yang sama (aksara Bali), dapat menarik minat masyarakat pembaca aksara Bali lebih meningkat, karena dengan sistem komputerisasi aksara Bali, nampak standar sehingga dalam membaca terkesan lebih mudah. Di samping itu, program ini setidaknya dapat dijadikan penunjang dalam mempelajari atau membaca naskah aslinya yang berupa lontar.References
Agastia, IBG. 1987. "Kepustakaan Bali sebagai Sumber Nilai-nilai Spritual". Makalah pada Bulan Bahasa Denpasar.
Bagus, IGN. dkk. 1987/1988. Analisis dan Kajian Geguritan Salampah Laku, Karya Ida Padanda Made Sidemen. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
_________. 1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali. Suatu Kajian Antropologi. Denpasar: Universitas Udayana.
Damono, Sapardi Joko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ikram, Achadiati. 1982. "Beberapa Masalah Perkembangan Ilmu Filologi Dewasa ini. Jurusan Sastra Indonesia FSUI.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan.
Subadio, Haryati. 1991. "Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang Ilmu dalam Naskah dan Kita" Jakarta: Lembaran Sastra Nomor Khusus 12 Januari FSUI, Depok.
Swastika, I Made. 1985. "Konsepsi Kelepasan Seorang Penyair (Studi Pendahuluan Karya-karya Ida Pedanda Made Sidemen)". Makalah yang disajikan dalam seminar Baliologi Denpasar.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Warna, I Wayan. dkk. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.